Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

adsense

Bukan Dia (Cerita Pendek)


Laki-laki itu mengeluarkan pisau kecil yang dari tadi telah tersimpan rapi di pinggannya, kemudian dengan cepat menusuk leher kiri si wanita, lalu seperti kesetanan dia melakukan hal yang sama secara berulang kearah dada dan perut. Darah segar lantas mengalir deras memerahkan ubin putih yang menjadi tempat kejadian perkara, sontak saat adegan mengerikan itu terjadi, seisi studio teriak, bahkan tidak sedikit yang menutup mata serta memalingkan wajah.

Padahal menurut Aziz, selain jalan cerita, adegan tersebut adalah salah satu hal yang membuat film horor menjadi seru untuk di tonton. Namun tetap saja, bagi aku dan sebagian orang di dalam studio, adegan pada film yang pertama kali kami tonton bersama itu terlalu menyeramkan.

Aku, Ayu, seorang wanita yang mungkin seperti kebanyakan orang lainnya, tidak menyukai film horor, sebab kadang cerita menyeramkan terlalu susah untuk dilupakan, sedangkan Aziz dia sangat menyukai film-film bergenre seperti ini. kami memang berbeda untuk urusan perfilm-an, tapi disisi lain kami memiliki banyak kesamaan.

Aku dan Aziz pertama kali bertemu dalam sebuah kegiatan di salah satu desa yang ada di kota ku, kami berdua memiliki ketertarikan yang sama kepada alam dan pariwisata. Kami pun juga mengunjungi desa itu guna menghadiri kegiatan peresmian desa tersebut menjadi desa wisata.

Bedanya, saat itu aku sebagai panitia, sedangkan Aziz sebagai penonton.

Pertemuan pertama aku dan Aziz yang kala itu turut membawa pacarnya, hanya berlangsung ala kadarnya, kami berkenalan, mengobrol sebentar, dan selesai. Tidak ada kesan apapun dalam pertemuan pertama kami ini.

Hingga beberapa bulan kemudian, hubungan Aziz dengan pacarnya berakhir, lalu kami menjadi dekat dan sering menghabiskan waktu bersama.

Kami yang awalnya asing menjadi dua orang yang saling berbagi cerita satu sama lain. Aku ada di setiap tawa ataupun kesedihan yang sedang Aziz rasakan, dan dia juga ada di setiap kegelisahan yang aku alami. Kami seperti saling melengkapi, Aziz bahkan menjadi orang pertama yang aku cari saat ingin curhat tentang dosen pembimbingku yang selalu keluar kota saat akan ditemui. Aku adalah orang yang dia hubungi saat bercerita tentang rumah pelanggan wifi nya yang terlalu banyak tikus yang merusak kabel jaringan.

Beberapa kali aku dan Aziz mengabiskan waktu makan siang bersama, kami sering jalan-jalan mengelilingi kota saat malam hari dengan sepeda motornya, Aziz juga kadang mengajak aku untuk menonton bioskop jika ada genre film yang disukainya sedang bermain.

Aziz selalu bisa membuat aku merasa nyaman saat sedang bersamanya, hal-hal kecil yang juga selalu dia lakukan sebagai bentuk perhatian membuat kehadirannya menjadi berarti di hatiku. Hingga akhirnya aku sadar, bahwa aku telah jatuh kedalam jurang gelap bernama cinta.

Iya, aku menyukai Aziz, aku menyukai semua perlakuannya kepadaku, dan aku menyukai keberadaanya disampingku.

Sedangkan Aziz?

Dia tidak pernah mempertegas hubungan kami ini.

Seperti film horor, itu adalah hal lain yang aku tidak suka.

***

Malam ini terasa sedikit sepi untuk ukuran malam minggu. Diatas motor, aku yang sedari tadi menghirup aroma parfum Aziz yang terbawa angin, sesekali mencuri pandang ke arahnya melalui sepion motor. Aziz mengenakan kemeja flanel bergaris cokelat dengan celana jeans biru yang terlihat sangat cocok di badannya.

"Eh, kita belum terlambat kan Yu" kata Aziz.

"Ga salah kan, jadwal kita nonton itu jam 20.15"

"Iya Ziz, santai aja, masih ada setengah jam lagi kok" Jawab ku.

"Aku takut, kita terlambat kayak waktu lalu" sambung Aziz.

"Kan ga seru kalo nonton film horor, tapi bagian depannya kita ga tau".

"Soalnya, bagian depan film horor itu kadang jadi kunci film tersebut" lanjutnya sembari mempercepat laju kendaran.

"Tenang-tenang, aku udah cek kok tiketnya, kita ga akan terlambat hari ini"

Aku dan Aziz memang pernah beberapa kali terlambat saat akan menonton, hal ini karena kadang Aziz lupa jam berapa film tersebut akan diputar, tapi dia terlalu malas untuk mengecek kembali jadwal tiket di aplikasi pemesanan, padahal itu adalah hal yang simpel.

Dan karena telah beberapa kali mengalami hal itu, sekarang jika kami ingin menonton bersama, Aziz selalu memberikan tiket online film setelah memesannya kepadaku, dan jadilah aku yang selalu mengingatkannya.

Aziz sedikit memelankan motor agar suaranya terdengar oleh ku, lalu bertanya "kamu baik-baik aja kan yu?"

"Hah, maksudnya Ziz?" tanya ku balik.

"Kamu ga lagi sakit kan, soalnya kamu agak aneh hari ini"

"Kamu lebih diam gitu, kayak lagi sakit atau lagi ada yang difikirin", lanjutnya.

"Oh, engga kok Ziz, aman, aku baik-baik aja" jawab ku.

Aziz mengangguk dan melanjutkan perjalanan.

Mungkin karena kami sudah sering bersama, jadi dia sudah bisa merasakan jika ada yang berbeda dari aku.

***

Di dalam ruangan bioskop, kami berdua duduk di kursi bernomor A 10 dan A 11, tepat disebelah tangga yang ada dibarisan paling jauh dari layar.

Sebagai mana hal nya film yang sangat laris, dan kami mesti antri berhari-hari untuk mendapatkan tiketnya, situasi di ruangan ini sangat penuh, tidak ada satupun kursi yang kosong hingga kederetan paling depan.

15 menit berjalan, film yang bermain di depan kami ini telah beberapa kali sukses membuat seisi biskop bergemuruh karena kaget oleh adegan-adegannya, namun aku, yang sedari tadi bertengkar dengan fikiranku sendiri, hanya terdiam, tidak seperti aku yang biasanya kagetan, aku bahkan tidak terlalu memperdulikan film ini.

"Kenapa sih Aziz ga ngungkapin perasaannya ke aku?"

"Apa yang salah dari aku"

"Dia tau ga ya, kalo aku suka sama dia?"

"Apa jangan-jangan Aziz cuma mau ngegantung aku?"

"Masa iya sih"

"Terus kenapa dia perduli banget?"

"Pasti lebih menyenangkan kalo aku sama dia pacaran"

"Apa Aziz ga suka aku ya"

"Atau jangan-jangan, aku pernah buat dia ilfeel"

"Tapi kenapa dia terus perduli sama aku"

"Kenapa ya"

"Ga bisa nih, aku harus memperjelas semua ini, aku gabisa gini terus"

Percapakan-percakapan itu terus lewat secara berulang di kepala ku, seolah menjadi teater sendiri dan menolak untuk membuat aku konsentrasi terhadap film yang sedang kami tonton.

Perasaan gelisah, dan tidak nyaman lalu muncul setelahnya, entah kenapa aku tiba-tiba merasa kesal. Aku juga melihat sedari tadi Aziz sesekali melirik kearah ku, aku yakin dia juga telah menyadari ketidak nyaman-an aku ini.

Lalu tiba-tiba, Aziz mendekatkan kepalanya sembari berbisik "Kamu kenapa?"

"Engga, aku ga papa" jawabku yang mencoba meyakinkan Aziz, ya setidaknya hingga film ini selesai.

"Pasti ada sesuatu"

"Kan kamu tau, aku adalah orang yang ingin selalu menyelesaikan problem saat itu juga"

"Kamu ga nyaman banget kelihatnya"

"Kamu ga suka banget sama filmnya atau gimana?" tanya Aziz.

"Please, kasih tau aku Yu".

"Ada yang lagi kamu fikirin kan?"

Aku menoleh, sembari melihat tajam ke arah matanya, lalu aku menjawab "Iya"

"Apa"? lanjut Aziz bertanya.

"Aku dari tadi mikirin, tentang kita"

"Kita ini apa Ziz"? lanjut aku bertanya balik.

"Ya manusia" jawab Aziz dengan cepat.

Sedikit menghela nafas, lalu aku kembali berkata dengan masih berbisik "Iya aku tau kita manusia"

"Maksud aku, akutuh bingung tentang hubungan kita ini, sebenernya apa"?

Aziz terdiam sebentar, dengan terus melihat kearah mataku, lalu dia berkata "Kita ngobrol diluar aja yuk"

"Tapi filmnya belum kelar, masih panjang kan"

"Gapapa, nanti lain hari kita nonton lagi" jawab Aziz.

"Yuk" lanjut Aziz sembari bangkit dari kursinya.

Aku mengangguk, tanda meng-iya-kan ajakannya, lalu dengan perlahan kami menuruni anak tangga agar tidak terlalu mengganggu penonton yang lain.

***

Aku dan Aziz duduk berhadapan di salah satu kursi tunggu yang masih berada didalam area bioskop, dengan meja berbentuk petak setinggi dada, persis seperti susunan meja dan kursi yang ada di rumah makan, bedanya disini lebih kecil dan hanya cukup untuk empat orang saja.

Aziz sedikit meminum ice lemon tea yang selalu dia pesan jika akan menonton, lalu meletakan minuman itu diatas meja, tepat berhadapan dengan cup capucino cincau ku, kemudian dia mulai membuka pembicaran.

"Yang tadi gimana yu?"

"Iya, kayak yang aku bilang tadi Ziz, aku bingung sebenarnya hubungan kita ini apa?" jawab ku.

"Kita selalu menghabiskan waktu bersama, main bareng, nonton, dan sebagainya".

"Kamu juga perhatian banget, sikap kamu ke aku itu, membuat aku akhirnya suka bukan hanya sebagai teman sama kamu, kamu faham ga sih" lanjut ku.

"Iya aku faham Yu" jawab Aziz dengan terus melihat kearahku.

"Ya terus, kenapa kamu gini?"

"Aku kasih tau kamu ya Ziz, setiap kita ketemuan, atau chatingan, atau lagi telponan, aku tuh merasa senang banget".

"Tapi setelahnya, aku jadi bingung Ziz, aku merasakan sesuatu yang mengganjal di dada aku, ga enak banget rasanya."

"Aku butuh kepastian, tentang semua ini Ziz."

Aziz menarik nafas, sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan, "Yu, pertama aku mau minta maaf banget udah bikin kamu ga nyaman".

"Aku udah yakin suatu saat kamu pasti akan nanyain ini, ya walupun aku ga tau kapan"

"Sampai sekarang aku belum bilang aku suka sama kamu, karena  memang itu kenyataanya Yu".

"Kamu adalah cewek yang sangat baik, siapapun yang dapetin kamu pasti beruntung, dan aku pengen jadi orang yang beruntung itu".

"Tapi masalahnya, tuhan belum ngasih perasaan itu Yu" lanjut Aziz.

"Aku udah maksain untuk mengadirkan perasaan itu ke kamu, semua yang aku lakuin ke kamu, itu adalah usaha aku untuk membuat diri aku sendiri suka sama kamu".

"Apa yang kamu lakuin sekarang ini udah bener Yu, dalam hal ini aku yang salah"

"Ga seharunya aku memperlakukan kamu gini, padahal aku masih belum memiliki rasa sama kamu"

"Tapi aku ga mau, kita kehubungan yang lebih dari pertemanan ini, atas dasar terpaksa, kamu pasti setuju dengan itu kan?"

Aku hanya mengangguk, tanpa bisa berucap apa-apa, semuanya terasa makin menyakitkan, rasa kesal, sedih, emosi, semuanya bercampur aduk.

Sejenak aku merasa menyesal mengajaknya masuk kedalam percakapanan ini, padahal sebelumnya aku telah meyakinkan diri untuk menerima semua jawaban dari Aziz.

"Yu, sekali lagi aku minta maaf ya?"

Aku tersenyum. Melihat kearah matanya. Meminum capucino cincau yang dari tadi didiamkan diatas meja. "Iya, aku gapapa kok Ziz, makasih ya kamu udah jelasin semuanya"

"Sekarang, boleh ga kalo kita ga bareng dulu"

"Aku mau nenangin diri dulu Ziz" 

"Gapapa ya?" lanjutku bertanya.

"Iya yu, aku ngerti kok" jawab Aziz.

"Yudah, aku mau pulang duluan ya"

"Kamu ga usah nganterin aku, kamu lanjutin filmnya aja" lanjut ku sembari memasukan dompet kedalam tas.

"Aku anter ya yu, bahaya kamu pulang sendirian, udah malem ini"

"Aku udah pesen taxi online nih ziz, udah nunggu didepan, ga enak kalo di cancel" jawabku sembari berdiri.

"Aku duluan ya ziz, sorry banget ga bisa temenin kamu nonton sampai selesai"

Aziz ikut berdiri lalu mengangguk. "kamu hati-hati ya yu".

"Iya ziz, daahh".

Itu adalah kata terakhir yang aku ucapin ke dia malam itu.

***

Aku membuka chat yang dikirmkan Aziz kepadaku, dua hari kemudian, banyak banget pesan yang dia kirimkan, yang intinya, dia mau minta maaf.

Aku sengaja ga membuka pesan itu agar tidak harus membalasnya, aku takut masih dikuasai rasa marah dan kesal.

Aziz memahami semua yang aku ingingkan mulai dari saat ini kepada dia tentang hubungan kami. Aku dan Aziz akan tetap berteman, tapi tidak akan sedekat sebelumnya, aku meminta Aziz untuk memperlakukan aku seperti teman biasa saja, tidak perlu berusaha untuk menyukaiku lagi.

Kadang banyak orang yang bertahan terluka di ketidaktahuan, sampai lupa bahwa kejelasan adalah langkah awal untuk mengobati luka.

Post a Comment for " Bukan Dia (Cerita Pendek)"