Ini adalah kisah nyata yang di alami oleh Ibu Fitriani dalam usahanya untuk memperoleh pendidikan.
Sore
itu ketika kebanyakan orang-orang sebaya ku sedang bermain riang bersama dengan
boneka kesayangan atau sekedar bercanda seru dengan keluarga nya, aku justru
harus menempuh perjalanan jauh untuk meninggalkan kota Medan menuju ke ibu
kota. Terdengar biasa saja memang, namun bagi ku yang masih berumur lima tahun,
perjalanan itu adalah awal dari cerita menyedihkan yang harus aku jalani.
Dua
hari sebelum beranjak dari kota yang menjadi saksi lahirnya aku ini, mamak -panggilan
untuk ibu- memanggil ku ketika sedang asik bermain dengan teman-teman di
sekitaran rumah, suara yang akhirnya menghentikan aktifitasku bersama dengan
teman-teman itu seakan benar-benar memaksaku untuk menghampirinya, padahal
biasanya mamak menyuruh ku pulang dan mandi sore sekitar jam lima lewat, tapi
hari itu baru saja jam tiga aku sudah di suruh pulang. Perasaaan kesal tentu
menghampiri ku ketika teriakan mamak terdengar, namun apa yang akan disampaikan
mamak setelah teriakan nya itu adalah suatu hal yang akan membuat aku kegirangan.
Baca Juga:
Jadikan Sampah Sebagai Hartamu !!!
Baca Juga:
Jadikan Sampah Sebagai Hartamu !!!
Mamak
bekerja sebagai asisten rumah tangga, mencuci pakaian, mencuci baju,
membersihkan lantai, dan segala macamnya, beberapa kali bahkan aku diajak kerumah
majikannya karena memang tidak ada yang bisa menjagaku sewaktu mamak bekerja.
Mamak harus mengurusi aku dan tiga orang saudara laki-laki ku yang lain,
sementara kiriman uang dari ayah kadang suka terlambat datangnya, sehingga
menjadi asisten rumah tangga adalah satu-satu nya yang bisa ia lakukan untuk
menyambung hidup kami. Makan dengan kudapan seadanya dan berbagi antara satu
dengan yang lain telah terbiasa kami lakukan, kehidupan yang jauh dari kata
mewah secara alamiah melatih kami untuk hidup sederhana.
Panggilan
mamak sore itu terdengar berbeda dengan biasanya, tergesa-gesa dan lebih
kencang. Rasa marah bercampur sedih seakan menemani gelombang suara pada
teriakannya itu.
“Pit, pulang” teriak mamak.
“Pit, pulang” teriak mamak.
“Pipit
cepat pulang” lanjutnya.
“pipit”
dengan nada yang lebih kencang ia memanggilku.
“Ia
mak,” sahut ku sambal berlari meninggalkan karet yang sedang aku dan teman ku
mainkan.
“Ada
apa mak, kan belum sore mak” kataku setiba di hadapan mamak.
Terlihat
mata yang sedikit memerah dan berkaca, “ayah mau datang nak” kata mamak.
“benaran
mak, yey ayah pulang” lanjutku.
Aku
dan ayah sesungguhnya belum pernah benar-benar bercengkrama sekalipun, ia
meninggalkanku dan merantau ke Jakarta sejak aku baru lahir dan masih tidak
mengetahui apa-apa, bertemu dengan ayah merupakan suatu kebahagiaan bagiku kala
itu, tentu saja karena selain rindu akupun penasaran seperti apa sebenarnya
sosok ayahku.
“Kapan
ayah akan bulang mak?” lanjutku penasaran.
“besok
dia akan sampai” jawab mamak.
Cuaca
sore yang di bersamai kuning nya sinar matahari yang menghantam bumi, beserta
dengan deruan angin yang bermain menggauli kulit saat itu terasa lebih indah
dari biasanya, benar bahwa rasa bahagia memanglah dapat berpengaruh terhadap
visualisasi mata. Kecantikan yang tersaji ini seharusnya membuat orang betah
untuk berlama-lama menikmati nya, tapi tidak bagiku, aku seakan ingin segera
mengakhiri hari ini agar hari esok lebih cepat datangnya, perasaan tidak sabar
yang menggebu karena akan ada suatu hal yang menunggu akhirnya membuat ku tertipu
oleh sudut pandangku sendiri, hari itu justru terasa berjalan lebih lambat dari
biasanya.
Bersambung...............
Cerita pendek dari berbagai kisah nyata akan update setiap hari kamis, terus ikutin ya.
0 komentar:
Post a Comment